g. Rasa Hormat

Seorang wanita tua yang sudah lama dirawat di panti jompo bertanya pada perawatnya, “Suster, apa yang kamu lihat? Apa yang kamu pikirkan ketika kamu memandang aku?”

Ibu tua itu mengira bahwa para perawat melihat dia hanya sebagai seorang tua yang rewel dengan tatapan kosong, dengan tangan gemetar dan selalu kehilangan sepatunya, yang harus terus dibujuk agar mau makan sendiri.

Dia tahu bahwa mereka tidak melihat dirinya seperti yang sesungguhnya. Dengan penuh kasih-sayang dan dengan suka-cita dia mengenang kehidupannya: Sebagai seorang gadis kecil dengan ayah dan ibu, kakak dan adik yang sangat sayang kepadanya; Sebagai seorang gadis yang sedang jatuh cinta;Sebagai pengantin yang bahagia; Sebagai seorang ibu; Seorang nenek, dan kemudian sebagai seorang janda yang kehilangan suami serta anak-anaknya karena mereka tinggal di tempat yang jauh.

“Sekarang aku adalah seorang wanita tua dan dunia begitu kejam. Mengolok-olok orang tua sebagai bahan tertawaan. Tubuhnya sudah renta, keanggunan dan kekuatannya memudar…., tetapi dalam tubuh renta ini, masih hidup seorang gadis muda.”

Maka dia berseru, “Bukalah matamu, para perawat, buka dan lihatlah – bukan seorang wanita renta. Lihatlah lebih dekat. Lihatlah AKU!”

Bawalah anak-anak Anda ke rasa hormat yang paling dalam, bagi semua orang, ketika Anda mendidik mereka tentang nilai istimewa yang abadi dari orang lanjut usia.

Dengan melihat bagaimana Anda memperlakukan orang tua Anda sendiri, Anak-anak Anda belajar bagaimana menghormati dan menghargai orang yang lebih tua, dan, pada gilirannya nanti, mereka akan menirukan Anda dan melihat bahwa ada aturan yang mengharuskan mereka menghormati ayah dan ibunya….., yaitu Anda, ketika sudah tua nanti…

Mangkuk kayu

Ada seorang pria lanjut usia yang tinggal di rumah anak laki-lakinya, di sana hidupnya cukup nyaman, dia diberi kamar sendiri, dengan ruang yang cukup lega untuk menaruh barang-barang kesayangannya, anak laki-laki dan menantunya memperlakukannya dengan baik, dia punya seorang cucu laki-laki yang selalu membuatnya terhibur.

Setiap malam, keluarga ini berkumpul bersama di meja makan yang besar untuk makan malam bersama. Di sana mereka saling berbagi makanan dan mengobrol dengan hangat. Orang tua ini sangat bahagia dan merasa sangat bersyukur.

Tahun-tahun terus berlalu, kesehatan orang tua itu mulai merosot. Tangannya mulai gemetar, dan kadang, karena tangannya yang gemetar, dia menumpahkan tehnya atau menjatuhkan piringnya. Dengan semakin seringnya dia menumpahkan sesuatu, anaknya mulai merasa jengkel.

Suatu malam, ketika seluruh keluarga sedang duduk diseputar meja makan, tanpa di sengaja, orang tua itu menyenggol mangkuknya dengan sendoknya, menyebabkan mangkuk itu pecah, dan menumpahkan sop di meja makan.

Anaknya melompat dari tempat duduknya dan berteriak pada ayahnya, “Kenapa sih pa? Papa sekarang begitu kikuk. Kalau papa tidak bisa makan di meja makan kami dengan benar, ayah harus makan sendirian di kamar. Aku capek melihat papa terus menerus menumpahkan makanan di meja dan memecahkan piring kami.”

Hari berikutnya, anaknya membawa pulang mangkuk kayu, dan, mulai saat itu, orang tua itu makan di kamar, dengan mangkuk kayu. Dia tidak mengatakan apa-apa pada anak dan menantunya, tetapi dipisahkan dari keluarga di saat makan malam seperti itu membuatnya sangat sedih.

Suatu hari, ketika tuan rumah pulang dari kantor, didapatinya anaknya yang masih kecil itu asyik bekerja di bengkel di sudut garasinya.

“Kamu sedang membuat apa nak?” tanyanya.

Dengan bangga anak itu memamerkan hasil kerjanya. “Aku sedang membuat mangkuk kayu. Aku membuatnya sendiri.”

“Mangkuk kayu?” Tanya ayahnya. “Untuk apa? Bukankah kita punya piring-piring yang indah?”

Anak kecil itu menjawab, “Aku tahu, tapi aku membuat mangkuk ini untuk papa, nanti ketika papa jadi semakin tua seperti kakek, dan harus hidup bersamaku, ketika tangan papa mulai gemetar dan papa memecahkan piringku, aku sudah mempersiapkan mangkuk ini untuk papa, untuk makan di kamar papa sendiri.”

Ketika dia mendengar penjelasan anaknya, serta merta dia berlari ke kamar ayahnya dan menjatuhkan diri di pangkuannya. “Papa, aku minta maaf. Maafkanlah anakmu ini karena tidak menunjukkan rasa hormat dan penghargaan yang seharusnya papa terima.”

Dan malam harinya, seluruh keluarga kembali duduk bersama di seputar meja makan yang besar itu.

———-

Tinggalkan komentar